JAKARTA = Forbidden City atau Paradise City. Predikat mana yang paling
cocok dan pas? Bisa jadi dua-duanya. Buat saya, sebutan forbidden city
jadi satu ukuran betapa segala jenis hiburan—termasuk alkohol, drugs,
dan seks di dalamnya—bisa diakses dan dibeli kapan saja dan di mana
saja. Padahal, menurut aturannya, segala hiburan yang berbau seks itu
jelas "forbidden" di Jakarta (Well, tepatnya di Timur). Nyatanya? Bagi
sebagian orang, hiburan yang notabene "forbidden" itu malah jadi
"paradise" yang menawarkan kesenangan tak terhingga.
Istilah Forbidden City atau Gugong Bowuguan dalam bahasa Cina, yang
menjadi sub-judul buku ini, secara sejarah mungkin tidak banyak
berhubungan dengan salah satu peninggalan Emperor Mid-Ming tahun 1422
yang sampai sekarang masih kokoh berdiri di pusat Kota Beijing itu.
"Stop, stop dulu! Jangan ngomong teori melulu. Gambaran edannya Jakarta
itu seperti apa detailnya" sergah Nadia, 28 tahun, salah satu peserta
arisan gaul yang sering ber-window shopping di Plaza Senayan.
"Sorry. Jadi langsung ke pokok masalah nih?" pancing saya.
"Ya iyalah. Hare gene, bosen dengerin teori soal gaya hidup orang-orang perkotaan," sambung Nadia.
"Sorry. Jadi langsung ke pokok masalah nih?" pancing saya.
"Ya iyalah. Hare gene, bosen dengerin teori soal gaya hidup orang-orang perkotaan," sambung Nadia.
| Pertama di Indonesia, Bisnis online yang Terbukti Membayar ? |
0 comments:
Posting Komentar